Ada berapa jenis hukum dalam agama Islam?
Jumhur ulama membaginya menjadi lima jenis, berikut penjelasannya,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara bahasa, wajib adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Artinya, wajib merupakan suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya akan mendapat dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi empat jenis berdasarkan bentuk kewajibannya, yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran atau kadar pelaksanaannya, dan kandungan kewajiban perintahnya.
- Wajib muthlaq, wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya. Seperti, meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.
- Wajib muaqqad, wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang ditentukan.
- Wajib aini, kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain. Misalnya, puasa dan sholat.
- Wajib kafa'i atau kifayah, kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur kewajibannya. Contohnya, sholat jenazah.
- Wajib muhaddad, kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan, contohnya zakat.
- Wajib ghairu muhaddad, kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya, misalnya menafkahi kerabat.
- Wajib mu'ayyan, kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan lain. Contohnya, membayar zakat dan sholat lima waktu.
- Wajib mukhayyar, kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Seperti, kafarat pelanggaran sumpah.
Hukum Asal Perlombaan Dalam Islam
Poin pertama yang akan kami bahas adalah hukum asal perlombaan dalam islam. Sekedar perlombaan, yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini tentu hukum asalnya mubah (boleh). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam lomba tersebut terdapat taruhan atau hadiah. Adapun sekedar lomba tanpa taruhan dan hadiah, hukum asalnya boleh. Karena perlombaan merupakan perkara muamalah. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:
الأصل في المعاملات الحِلُّ
“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.
Selain itu, para ulama ketika membahas masalah musabaqah, umumnya mereka mengidentikkan dengan perlombaan yang melatih orang agar siap untuk berjihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
السباق بالخيل والرمي بالنبل ونحوه من آلات الحرب مما أمر الله به ورسوله مما يعين على الجهاد في سبيل الله
“Perlombaan kuda, melempar, memanah dan semisalnya merupakan alat-alat untuk berperang yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk membantu jihad fi sabilillah” (dinukil dari Al Mulakhas Al Fiqhi, 2/156).
Oleh karena itu diantara dalil tentang disyariatkannya lomba adalah dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk melatih diri sehingga siap untuk berjihad fi sabilillah. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al Anfal: 60).
Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu:
سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat ‘dan persiapkanlah bagi mereka al quwwah (kekuatan) yang kalian mampu‘ (QS. Al Anfal: 60) Rasulullah bersabda: ‘ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim no. 1917).
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:
ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak.”
Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
اللهْوُ في ثلاثٍ : تأديبُ فرَسِكَ ، و رمْيُكَ بِقوسِكِ ، و مُلاعَبَتُكَ أهلَكَ
“Lahwun (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan keluargamu” (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab [wafat 429H] dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda’, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5498).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ia berkata:
سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ [5/327]).
Dan dalil-dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya dan bahkan dianjurkannya perlombaan memanah, berkuda, dan melempar (skill menembak). Itulah hukum asal perlombaan dalam islam.
Baca Juga: Mari Berlomba Meraih Shaf Pertama
Lalu, bagaimana hukum seseorang yang sudah terlanjur memiliki tato? Apakah ibadah orang yang bertato diterima Allah SWT?
Berikut hukum bertato dalam Islam dan hukum ibadah orang yang bertato. (Foto: istockphoto/baytunc)
Syafiq menyebut salat orang yang bertato tetap diterima Allah SWT dengan syarat.
"Secara fikih, salat orang-orang yang sudah terlanjur memiliki tato tetap diterima oleh Allah SWT, tapi mereka harus bertobat. Dalam pengertian bahwa mereka harus merasa menyesal dan menjaga dirinya untuk tidak membuat tato kembali," tutur Syafiq.
Itulah hukum bertato dalam Islam dan hukum ibadah orang yang bertato.
BincangSyariah.Com – Saat ini, selain diternak, jangkrik termasuk hewan yang dikonsumsi. Banyak masyarakat yang mengkonsumsi jangkrik. Ini disebabkan karena jangkrik diyakini menambah stamina tubuh, menambah gairah seksual, serta mampu menunda menopause bagi wanita. Namun dalam Islam, bagaimana hukum makan jangkrik ini?
Dalam kitab-kitab fiqih, jangkrik disebut dengan jundub dan termasuk bagian hewan hasyarat atau hewan yang melata di bumi. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum makan jangkrik dan semua jenis hewan hasyarat ini.
Menurut ulama Syafiiyah, hukum makan jangkrik dan semua jenis hewan hasyarat adalah haram. Hal ini selain menjijikkan atau khabaits, juga jangkrik termasuk hewan yang tidak layak dimakan oleh orang yang memiliki jiwa dan tabiat yang sehat.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berikut;
في مذاهب العلماء في حشرات الأرض كالحيات والعقارب والجعلان وبنات وردان والفأرة ونحوها : مذهبنا أنها حرام
Pendapat para ulama mengenai hewan bumi seperti ular, kalajengking, kumbang/serangga, tikus dan lain-lain. Menurut pendapat kami (ulama Syafiiyah) hukumnya adalah haram.
Dalam kitab Al-Iqna’ juga disebutkan sebagai berikut;
وَلَا تَحِلُّ الْحَشَرَاتُ وَهُوَ صِغَارُ دَوَابِّ الْأَرْضِ كَخُنْفُسَاءَ وَدُودٍ
Tidak halal hasyarat (hewan bumi) yaitu hewan-hewan kecil di bumi, seperti kumbang dan ulat atau cacing.
Dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menyebutkan sebagai berikut;
ويحرم أكل حشرات الأرض صغار دوابها كالعقرب والثعبان والفأرة والنمل والنحل
Haram makan hewan, yaitu binatang-binatang kecil bumi, seperti kalajengking, ular, tikus, semut, dan lebah.
Juga disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla berikut;
لا يحل أكل الحلزون البري ولاشيء من الحشرات كلها كالوزغ والخنافس والنمل والنحل والذباب والدبر والدود كله -طيارة وغير طيارة- والقمل والبراغيث والبق والبعوض وكل ما كان من أنواعها
Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis hasyarat, seperti cicak (masuk juga tokek), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan yang sejenis dengan mereka.
Sementara menurut ulama Malikiyah, makan jangkrik hukumnya boleh dan halal dengan syarat harus disembelih dan dipastikan tidak membahayakan. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Ma’rifah Al-Sunan wa Al-Atsar berikut;
وقال المالكية: يباح بالذكاة اكل خشاش الارض كعقرب وخنفساء وبنات وردان وجندب ونمل ودود وسوس
Ulama Malikiyah berkata: Boleh makan hewan bumi dengan syarat disembelih, seperti kalajengking, kumbang, jangkrik, semut, ulat, dan ngengat.
Menikah merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan sekadar ikatan fisik antara dua individu, melainkan juga merupakan bentuk ibadah dan penyempurnaan separuh agama.Aturan-aturan menikah dalam Islam dirancang dengan sangat rinci untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak, serta untuk menjaga keturunan dan keteraturan masyarakat.Dalam kitab fiqih Fathul Wahab (2: 54) karya Syaikh Zakaria al-Anshari, dijelaskan "nikah" secara etimologis berasal dari bahasa Arab "al-dhammu," yang berarti "berkumpul."
Menurut terminologi fiqih atau syariat dalam islam "nikah" merupakan akad yang memperbolehkan hubungan intim antara suami dan istri dengan menggunakan lafaz nikah atau yang setara.
Dengan demikian, menikah merupakan suatu landasan hukum yang melegalkan hubungan sah antara seorang pria dan wanita.
Berdasarkan definisi tersebut, menikah dapat diartikan sebagai penyatuan dua individu (pria dan wanita) melalui akad yang menjadi dasar keabsahan hubungan tersebut.
Banyak anjuran untuk menikah yang terdapat dalam Al-Qur'an, salah satunya ialah Firman Allah SWT dalam (QS. An-Nur, 24: 32) yang berbunyi:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
wa ankiḥul-ayāmā minkum waṣ-ṣāliḥīna min 'ibādikum wa imā'ikum, iy yakūnū fuqarā'a yugnihimullāhu min faḍlih(ī), wallāhu wāsi'un 'alīm(un).
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur, 24: 32).
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (6: 51) bahwa surat An-Nur ayat 32 mengandung perintah untuk menikah. Menurut beberapa ulama, perintah ini bersifat wajib bagi mereka yang sudah mampu melaksanakannya.
Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong para pemuda untuk segera menikah jika sudah memiliki kemampuan.
Dalam penjelasaanya Ibnu Katsir melanjutkan, “namun sebagian besar (mayoritas) ulama menyatakan bahwa perintah menikah pada surat An-Nur ayat 32 tidak bermakna wajib, melainkan sunnah atau anjuran.”
Kemudian, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (6: 52) pandangan serupa disampaikan oleh Imam asy-Syafi'i dalam qaul jadid-nya (pandangan terbaru), bahwa perintah menikah dalam Al-Qur'an pada dasarnya bersifat anjuran, bukan kewajiban.
Lantas, bagaimana hukum menikah menurut perspektif Islam? Berikut penjelasannya.
Pada dasarnya, hukum menikah merupakan mubah (boleh), artinya tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang. Bergantung pada kondisi dan niat individu yang hendak menikah
Namun, mayoritas ulama menganggap hukum menikah sebagai sunnah atau anjuran, kitab Fath al-Mu'in oleh Ahmad Zainuddin Alfannani (hal. 44-46) menjelaskan bahwa hukum menikah dapat dikategorikan dalam 5 jenis berdasarkan keadaan dan niat calon pengantin, yaitu:
1. WajibPernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang mampu secara finansial dan fisik, serta khawatir jatuh dalam perbuatan dosa jika tidak menikah.Hal tersebut, bertujuan untuk menjaga moral dan akhlak seseorang dari perbuatan yang dilarang dalam agama.
2. SunnahMenikah merupakan sunnah bagi mereka yang mampu dan tidak khawatir jatuh dalam dosa. Ini merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, serta cara untuk meningkatkan kualitas hidup dengan adanya pasangan yang sah.
3. MubahHukum pernikahan dianggap mubah bagi mereka yang hanya ingin memenuhi kebutuhan seksual tetapi tidak memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi.
Individu dalam situasi ini disarankan untuk menunda pernikahan hingga mereka memiliki kemampuan yang memadai.
4. MakruhHukum makruh berlaku bagi orang yang tidak berniat menikah karena sifat pribadi atau kondisi kesehatan dan juga tidak mampu menafkahi keluarga.Menikah dalam situasi ini dapat menimbulkan masalah, termasuk risiko tidak dapat memenuhi hak dan kewajiban pernikahan, yang bisa merugikan pasangan.
5. HaramKeharaman pernikahan berlaku bagi mereka yang menikah dengan tujuan untuk menyakiti atau melanggar ketentuan agama yang sudah di ajarkan.
Misalnya, seseorang yang berniat untuk menyiksa atau menyakiti pasangan dalam pernikahan, dilarang untuk menikah dan jika dipaksakan maka hukumnya haram.
Menikah dalam Islam bukan hanya soal ikatan sosial tetapi juga sebuah tanggung jawab religius. Memahami 5 hukum pernikahan ini penting untuk memastikan bahwa setiap aspek dari pernikahan dilakukan sesuai dengan ajaran agama.
Dengan mematuhi hukum-hukum tersebut, diharapkan pernikahan dapat berjalan lancar dan penuh berkah dan dapat membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra HarahapEditor: Alviansyah Pasaribu Copyright © ANTARA 2024
Ada beberapa jenis hukum Islam yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Para ulama ushul fiqh mengelompokkannya ke dalam hukum taklifi.
Menurut buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam yang ditulis Iwan Hermawan, SAg, MPdI, hukum taklifi adalah yang menjelaskan tuntutan atau perintah, larangan, dan pilihan (takhyir) untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Hukum ini erat dengan pilihan dalam menjalankan aktivitas setiap hari.
Hukum Lomba Dengan Hadiah
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada perlombaan berhadiah, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta” (HR. Tirmidzi no. 1700, Abu Daud no. 2574, Ibnu Hibban no. 4690, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan:
لَا تَجُوزُ الْمُسَابَقَةُ بِعِوَضٍ إلَّا فِي هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ
“Maksudnya, tidak diperbolehkan lomba dengan hadiah kecuali dalam tiga jenis lomba yang disebutkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 6/402).
Dari hadits ini, ulama sepakat bahwa lomba yang disebutkan dalam hadits maka hukumnya jika ada hadiahnya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
إِنْ كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بِجَائِزَةٍ فَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا فِي الْخَيْل، وَالإبِل، وَالسَّهْمِ
“Jika lombanya berhadiah maka ulama sepakat ini disyariatkan dalam lomba berkuda, balap unta, dan memanah.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 15/80).
Adapun untuk selain lomba yang disebutkan dalam hadits, jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ السِّبَاقُ بِعِوَضٍ إِلاَّ فِي النَّصْل وَالْخُفِّ وَالْحَافِرِ، وَبِهَذَا قَال الزُّهْرِيُّ
“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak diperbolehkan perlombaan dengan hadiah kecuali lomba menanah, berkuda dan balap unta. Ini juga pendapat dari Az Zuhri.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 24/126).
Dan semua lomba yang bermanfaat untuk membantu jihad fi sabilillah, maka diqiyaskan dengan tiga lomba tersebut, sehingga dibolehkan mengambil hadiah dari lombanya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Lomba yang berhadiah hukumnya haram kecuali yang diizinkan oleh syariat. Yaitu yang dijelaskan oleh sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta.”
Maksudnya, tidak boleh ada iwadh (hadiah) pada lomba kecuali pada tiga hal ini. Adapun nashl, maksudnya adalah memanah. Dan khiff maksudnya adalah balap unta. Dan hafir artinya balap kuda. Dibolehkannya hadiah pada tiga lomba tersebut karena mereka merupakan hal yang membantu untuk berjihad fi sabilillah. Oleh karena itu kami katakan, semua perlombaan yang membantu untuk berjihad, baik berupa lomba menunggang hewan atau semisalnya, hukumnya boleh. Qiyas kepada unta, kuda dan memanah. Dan sebagian ulama juga memasukkan dalam hal ini perlombaan dalam ilmu syar’i, karena menuntut ilmu syar’i juga merupakan jihad fii sabilillah. Oleh karena itu perlombaan ilmu-ilmu syar’i dibolehkan dengan hadiah. Diantara yang memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah” (https://www.youtube.com/watch?v=7xWSOcOWkXw)
Dengan demikian lomba yang diperbolehkan untuk mengambil hadiah adalah:
Adapun yang tidak termasuk dua kategori ini maka tidak boleh ada hadiah dalam perlombaan. Itulah hukum perlombaan dengan hadiah dalam islam.
Baca Juga: Melecut Semangat Untuk Menuntut Ilmu Syar’i dan Beramal Shalih
Mandub atau sunnah
Hukum Islam mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa literatur dan pendapat para ulama, pengertian mandub disejajarkan dengan sunnah.
"Sunnah dalam hukum Islam berarti tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan karena perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk dilakukan," tulis Iwan Hermawan.
Orang yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran, namun tidak akan meninggalkan dosa bila ditinggalkan. Pembagian hukum sunnah berdasarkan tuntutan untuk melakukannya di antaranya,
Hukum Islam selanjutnya adalah makruh. Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama mendefinisikan makruh sebagai larangan terhadap suatu perbuatan. Namun, larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.
Artinya, orang yang meninggalkan larangan tersebut akan mendapat ganjaran berupa pahala. Sebaliknya, orang tersebut tidak akan mendapat apa-apa bila tidak meninggalkannya.
Para ulama membagi makruh ke dalam dua bagian, yakni:
Hukum mubah memberikan pilihan bagi seseorang untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Bila dikerjakan, orang tersebut tidak dijanjikan ganjaran pahala. Tetapi, tidak pula dilarang dalam mengerjakannya.
"Sesuatu yang mubah itu selama bersifat mubah, tidak menyebabkan adanya pahala atau siksa," tulis Iwan Hermawan.
Ulama ushul fiqih membagi mubah dalam tiga jenis, di antaranya:
Hukum Islam yang terakhir adalah haram. Secara terminologi, haram adalah sesuatu yang dilarang Allah SWT dan rasulNya. Orang yang melanggar dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, sementara orang yang meninggalkannya dijanjikan pahala.
Menurut madzhab hanafi, hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram.
Ada beberapa jenis haram yang dikelompokkan oleh jumhur ulama, yaitu:
Itu dia beberapa jenis hukum Islam yang terbagi ke dalam 5 kategori. Semoga bermanfaat ya.
YOGYAKARTA- Kajian jelang berbuka di masjid Islamic Center UAD pada hari Sabtu (30/03) membahas tema tentang hukum dan Islam yang disampaikan oleh M. Habibi Miftakhul Marwa SHI, MH (Dosen Fakultas Hukum UAD) selaku pemateri.
Mengutip dari Rene David guru besar hukum dan ekonomi universitas Paris, Habibi menyampaikan bahwa tidak mungkin orang memperoleh gambaran yang jelas tentang Islam sebagai suatu kebulatan, jika orang tidak mempelajari hukumnya. Kemudian kerangka dalam Islam itu ada 3, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Akidah berbicara tentang keyakinan dan keimanan serta bagaimana tentang ketauhidan. Syariah adalah sistem hukum yang ada di dalam ajaran agama Islam. Syariah merupakan kumpulan norma ilahi yang Allah turunkan kepada umat manusia. Akhlak secara garis besar adalah sistem etika dan moral yang ada di dalam ajaran agama Islam. Antara ketiga kerangka tersebut terdapat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Islam memiliki kumpulan aturan yang lengkap hampir bisa dikatakan setiap aktivitas yang ada di dalam kehidupan manusia ini Islam memiliki sistem aturan. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dalam syariat itu ada aturan yang mengatur terkait tata cara beribadah dan membangun hubungan dengan Allah SWT. Islam juga mengatur tata cara membangun hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang disebut dengan muamalah.
Kemudian Habibi juga menjelaskan terkait perbedaan syariat dan hukum. Di mana syariat itu adalah kumpulan norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (ibadah), hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan (muamalah).
Dan hukum merupakan suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur atau mengatur masyarakat atau aturan apapun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti aturan dari perlemen. Manusia harus di atur agar manusia bisa hidup tertib agar tidak terjadi konflik. Dia juga menyampaikan bisa disebut hukum apabila memenuhi 4 unsur yaitu ada aturan, ada yang membuat, bersifat memaksa, ada sanksinya bagi para pelanggar aturan.
“Kedudukan hukum dalam Islam saling terikat karena Islam menjadi agama paripurna yang berisi aturan-aturan dan yang menjadi sumber hukum utama dalam Islam adalah Alquran dan hadis. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum umat Islam.” Terangnya.
Dalam Alquran memiliki kandungan hukum, seperti pada surat surat madaniyah kandungannya berkaitan dengan hukum. Ayat-ayat hukum di dalam Alquran ada sekitar 368 ayat atau sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat di dalam Alquran. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum telah meletakkan hukum-hukum modern di tengah masyarakat arab yang masih jahiliah. Nabi Muhammad datang membawa perubahan terkait sistem hukum yang ada di Arab pra Islam. (Ekha Yulia Ningsih)
Pernikahan dalam Islam adalah salah satu institusi yang paling penting dalam kehidupan umat Muslim. Menurut ajaran Islam, pernikahan dianggap sebagai ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita yang saling mencintai dan ingin membangun kehidupan bersama. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa aspek hukum pernikahan dalam Islam.
Sebelum menikah, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon suami dan istri dalam Islam. Pertama-tama, keduanya harus memiliki kemampuan untuk menikah. Hal ini berarti bahwa mereka harus memiliki kesehatan yang cukup, kecukupan ekonomi, dan kemampuan mental dan emosional untuk menjalani kehidupan pernikahan.
Selain itu, dalam Islam, seorang pria dapat menikah dengan wanita Muslim, wanita Yahudi atau Kristen yang hidup dalam lingkungan Islam atau agama lain yang diakui oleh Islam. Namun, seorang wanita Muslim hanya dapat menikah dengan pria Muslim.
Proses pernikahan dalam Islam terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah lamaran, di mana calon suami mengajukan permohonan kepada calon istri untuk menikah. Kemudian, jika permohonan tersebut diterima, proses pernikahan dilanjutkan dengan upacara ijab kabul, di mana pihak calon suami mengucapkan janji nikah dan pihak calon istri menerima dengan mengucapkan kata “qabul”.
Setelah proses ijab kabul selesai, proses pernikahan dilanjutkan dengan akad nikah, di mana pernikahan diresmikan dengan menandatangani kontrak pernikahan atau akad nikah. Akad nikah ini dilakukan oleh seorang imam atau hakim di hadapan saksi-saksi yang sah.
Dalam Islam, suami dan istri memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalani kehidupan pernikahan. Suami harus memberikan nafkah dan perlindungan kepada istri, sementara istri harus menaati suami dan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Meskipun Islam memandang pernikahan sebagai institusi suci, namun dalam beberapa situasi perceraian dapat terjadi. Menurut ajaran Islam, perceraian dapat terjadi baik atas kesepakatan bersama antara suami dan istri maupun atas permintaan salah satu pihak.
Namun, sebelum melakukan perceraian, Islam mengajarkan bahwa suami dan istri harus melakukan upaya maksimal untuk memperbaiki hubungan mereka. Mereka harus mencoba untuk memperbaiki komunikasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka.
Islam mengizinkan suami untuk memiliki hingga empat istri, asalkan dia dapat memberikan nafkah dan perlindungan kepada semua istri dan anak-anak mereka. Namun, poligami dalam Islam tidak dianjurkan, dan seorang suami harus memperlakukan semua istri dan anak-anak mereka dengan adil.
Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas manusia sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai macam hal yang diperlombakan di masyarakat. Terkadang perlombaan juga disertai dengan adanya hadiah bagi pemenangnya. Bagaimana hukum perlombaan dalam islam?
Musabaqah dari as sabqu yang secara bahasa artinya:
القُدْمةُ في الجَرْي وفي كل شيء
“Berusaha lebih dahulu dalam menjalani sesuatu atau dalam setiap hal” (Lisaanul Arab).
Maka musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):
المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام
“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.
Penyangkalan dan Ketaatan Buta Telah Membunuh Korban
Tak dimungkiri, penyangkalan demi penyangkalan yang muncul bak petir yang menyambar itu, nyatanya membuat luka para korban bertambah parah. Bagaimana tidak, rasa sakit yang tak tervalidasi bahkan disangkal adalah hantaman keras yang lagi-lagi harus ditelan oleh mereka.
Korban KDRT yang kemudian melaporkan kejadian yang ia alami kepada keluarga kandungnya, dengan harapan akan mendapat pertolongan malahan menuai cacian. Tak ayal, ini membuat mental korban semakin tak karuan. Dikecewakan oleh fakta bahwa mengadukan kekerasan yang ia alami, hanya membuat ia dianggap sebagai istri yang tak pandai menjaga aib suami. Yang disesalkan adalah ketika korban mulai menormalisasi atau mewajarkan kekerasan yang ia terima dan ini merupakan imbas dari terus-menerusnya ia mendapatkan penyangkalan dari orang-orang terdekatnya.
Bukankah sudah banyak korban yang mengalami hal demikian? Merasa pantas untuk dihina pasangannya, layak dipukul dan diperlakukan tidak manusiawi hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin ia perbuat, bahkan ketika ia tak melakukan kesalahan apa pun.
Hanya karena sesuatu tidak terjadi kepada kita, bukan berarti hal tersebut tidak ada. Hanya karena kita tidak berada pada posisi di mana sudah jutaan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan ini. Bukan berarti perasaan korban tidak valid.
Alhasil, diam menjadi pilihan terburuk yang bisa dilakukan oleh sebagian besar korban yang memutuskan untuk tidak melaporkan apa yang ia alami. Disadari atau tidak, penyangkalan secara langsung maupun tidak langsung melalui komentar-komentar jahat itu, telah membungkam keberanian korban untuk meminta pertolongan, untuk mencari ruang aman, dan menyelamatkan dirinya.
Sontak saja, memori ingatan saya menarik pada kejadian beberapa tahun silam di mana saya berada di lingkaran pengajian khusus perempuan yang sampai kini doktrin agama yang sempat kutelan itu nyatanya masih laris dan kebanyakan terlontar dari mulut perempuan. Terlebih ketika berurusan dengan permasalahan rumah tangga. Adapun bunyi kalimatnya yaitu, “diam adalah emas”. Sabar yang pasif (tanpa upaya). Belum lagi dibumbui dengan “dipaksa” untuk bersyukur atas karunia-karunia yang lain.
Baca juga: Agar Tak Ada Lagi KDRT dan Pembunuhan Anak Jagakarsa
Tak perlu berfokus pada yang pahitnya dari rumah tangga, fokus saja pada hal-hal baik itu. Sehingga, tak apa jika dibuat memar, tak apa jika dimaki, direndahkan, yang penting tak bercerai, yang penting masih dinafkahi. Sebab, Tuhan sangat membenci perceraian. Lalu hilang kemanusiaan, nyawa pun melayang atas nama ketaatan buta.
Gegap gempita kembang api yang berdentum kencang di malam tahun baru, nyatanya kuamini sebagai teriakan para perempuan korban kekerasan yang tengah berteriak memohon pertolongan. Kuamini sebagai isak tangis mereka yang bercampur kemarahan sebab terus dibungkam dan tak didengar.
Jika surga harus dibayar dengan badan lebam dan trauma akibat KDRT suami, maka aku tak keberatan kehilangannya. Toh, ada pintu surga lain yang bisa dimasuki.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari
Tato merupakan gambar yang dilukis di kulit tubuh. Bagaimana hukum bertato dalam Islam? Apakah seorang muslim boleh bertato?
Anggota Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPT NU), Dr. Phil. Syafiq Hasyim, MA menjelaskan hukum bertato dalam Islam di program Tanya Jawab Seputar Islam (Tajil) di CNNIndonesia.com.
Proses menato tubuh dengan benda tajam dinilai dapat menyakiti diri sendiri. Syafiq mengatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak memperbolehkan umatnya menyakiti dan menganiaya diri sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Atas dasar ini lah, tato tidak boleh dimiliki oleh umat Islam. Rasulullah SAW sendiri mengutuk orang-orang yang bertato," kata Syafiq.
Netizen dan Komentar Denial
Masih dalam masa-masa kalut sebab ketidakmampuanku untuk menolong korban, tiba-tiba muncul berita sedih lainnya. Isinya tentang anak perempuan berusia 7 tahun di Kalimantan Barat yang menjadi korban kekerasan seksual hingga mengalami penyakit kelamin akibat perkosaan berulang. Tak cuma dari ayah kandung sendiri, kakek, bahkan tetangganya pun turut serta dalam perbuatan biadab itu. Pedih rasanya.
Sementara, di kolom komentar muncul satu cuitan yang sontak kuamini berbunyi, “Memang sudah tidak ada lagi ruang aman untuk perempuan”. Nahasnya, komentar ini malah diserang oleh mereka yang terus menyangkal fakta bahwa keluarga sendiri, sudah tak mampu menjadi ruang aman bagi perempuan. Entah itu menjadi korban kekerasan fisik maupun mental. Perempuan (istri maupun anak) adalah kelompok yang paling rentan di dalam keluarga.
Polanya selalu sama. Kalimat yang bagiku sudah terlampau memuakkan itu, berulang-ulang dijadikan acuan, “Karena di keluarga sendiri, aku sudah merasa aman kok, enggak usah lebay deh.”
Hanya karena sesuatu tidak terjadi kepada kita, bukan berarti hal tersebut tidak ada. Hanya karena kita tidak berada pada posisi di mana sudah jutaan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan ini. Bukan berarti perasaan korban tidak valid.
Adapun komentar-komentar bernada serupa, aku temukan di salah satu laman berita daring Kumparan yang dirilis pada 2 Januari 2024. Sialnya, sampai berita itu dimunculkan, pelaku ayah maupun tetangga masih buron. Hanya kakek korban yang baru tertangkap.
Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, Bantu Korban KDRT
Hukum Perlombaan Dengan Taruhan
Untuk lomba-lomba yang dibolehkan untuk diperlombakan, bolehkan ada taruhan? Sebelum membahas hukum perlombaan dengan taruhan dalam islam, maka perlu kita rinci mengenai jenis-jenis hadiah lomba. Hadiah lomba ditinjau dari penyedianya ada tiga macam:
1. Yang menyediakan hadiah adalah salah satu peserta lomba.
Semisal Fulan dan Alan berlomba. Maka Fulan mengatakan: “Kalau kamu bisa mengalahkan saya maka silakan ambil uang saya 100 dinar”. Maka ini hukumnya boleh dan hadiahnya halal.
Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):
إِذَا كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ بَيْنَ فَرِيقَيْنِ أَخْرَجَ الْعِوَضَ أَحَدُ الْجَانِبَيْنِ الْمُتَسَابِقَيْنِ كَأَنْ يَقُول أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: إِنْ سَبَقْتَنِي فَلَكَ عَلَيَّ كَذَا، وَإِنْ سَبَقْتُكَ فَلاَ شَيْءَ لِي عَلَيْكَ. وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ هَذَا
“Jika perlombaan dilakukan antara dua orang atau dua kelompok. Lalu salah satu peserta menyediakan hadiah, semisalnya ia mengatakan: “Jika engkau bisa mengalahkan saya, maka engkau bisa mendapatkan barang saya ini, kalau saya yang menang maka saya tidak mengambil apa-apa darimu”. Maka tidak ada khilaf di antara ulama bahwa ini dibolehkan”.
2. Yang menyediakan hadiah adalah penguasa atau orang lain di luar peserta lomba.
Semisal lomba yang diadakan pemerintah atau diadakan oleh perusahaan dan hadiah dari perusahaan, maka hukumnya boleh dan hadiahnya halal.
Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):
أَنْ يَكُونَ الْعِوَضُ مِنَ الإِْمَامِ أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الرَّعِيَّةِ، وَهَذَا جَائِزٌ لاَ خِلاَفَ فِيهِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنْ مَالِهِ أَوْ مِنْ بَيْتِ الْمَال؛ لانَّ فِي ذَلِكَ مَصْلَحَةً وَحَثًّا عَلَى تَعَلُّمِ الْجِهَادِ وَنَفْعًا لِلْمُسْلِمِينَ
“Jika hadiah disediakan oleh pemerintah atau dari masyarakat (yang tidak ikut lomba), maka ini dibolehkan tanpa ada khilaf di dalamnya. Baik dari harta pribadi penguasa atau dari Baitul Mal. Karena di dalamnya terdapat maslahah berupa motivasi bagi masyarakat untuk mempelajari berbagai ketangkasan untuk berjihad dan juga bisa bermanfaat bagi kaum Muslimin”.
3. Yang menyediakan hadiah adalah para peserta lomba.
Maka ini merupakan rihan atau murahanah (taruhan). Namun ulama khilaf apakah dibolehkan bagi lomba-lomba yang disyariatkan untuk dilakukan dengan taruhan dalam tiga pendapat:
Namun hadits ini derajatnya lemah. Dijelaskan kelemahannya oleh Al Bazzar (Musnad Al Bazzar, 14/229), Ibnu Adi (Al Kamil fid Du’afa, 4/416), Ibnu Taimiyah (Bayanud Dalil, 83), dan Ibnul Qayyim (Al Furusiyyah, 212).
Wallahu ta’ala a’lam pendapat yang rajih dalam pandangan kami adalah pendapat kedua. Karena dalam hadits disebutkan:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta”
Hadits ini menggunakan lafadz “laa sabaqa”. Sedangkan makna as sabaq secara bahasa adalah:
ما يجعل من المال رَهْناً على المُسابَقةِ
“Yang dipertaruhkan dalam perlombaan.” (Lisaanul ‘Arab).
Maka zhahir hadits ini menunjukkan bolehnya taruhan dalam tiga lomba yang disebutkan dalam hadits. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
لا يجوز الرهان إلا في مسائل ثلاث: في الخيل والإبل والمسابقة على الرمي، لقوله -صلى الله عليه وسلم-: “لا سبق إلا في نصل أو خف أو حافر”. هذا يجوز له المراهنة بالمال، يعني جعل مال لمن سبق بالرمي من أصاب الهدف أول، أو بالخيل أو بالإبل، من سبق يكون له كذا وكذا، هذا فعله النبي -صلى الله عليه وسلم- سابق بين الخيل وأعطى السبق
“Tidak diperbolehkan taruhan kecuali pada tiga lomba: balap kuda, balap unta dan memanah. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam: ‘Tidak boleh ada lomba, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta’. Untuk lomba-lomba ini dibolehkan taruhan dengan harta. Yaitu ju’alah berupa harta bagi orang yang paling tepat sasaran ketika memanah atau paling awal sampai ketika balap kuda atau unta. Yang menang mendapatkan ini dan itu. Ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam lomba balap kuda, dan beliau memberikan hadiah.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).
Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Ini jika lomba yang diperlombakan termasuk lomba yang diizinkan oleh syariat sebagaimana telah dijelaskan. Jika lomba yang diperlombakan tidak termasuk lomba yang diizikan oleh syariat dan terdapat taruhan di sana maka hukumnya terlarang karena dua hal:
Allah Ta’ala berfirman melarang qimar dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
أما المسابقة بالأقدام أو بالمطارحة أو ما أشبه ذلك، هذا ما يجوز هذا يسمى قمار, ما يجوز, وكذلك لو جعل –مثلاً- من أصاب رقم كذا أو كذا يعطى سيارة أو يعطى كذا أو يعطى كذا، على أن يقدم كل واحد عشرين ريال أو خمسين ريال أو مئة ريال يقيد عندهم فمن أصاب الرقم الفلاني أخذ السيارة أو أخذ شيء آخر من المال هذا من القمار ما يجوز هذا
“Adapun (taruhan pada) perlombaan balap jalan atau lemparan atau semisalnya (yang tidak diizinkan syariat) ini tidak diperbolehkan. Inilah yang disebut qimar. Tidak diperbolehkan. Demikian juga misalnya orang yang membayar 20 riyal atau 50 riyal atau 100 riyal lalu mendapat kupon dan nomor kupon tertentu akan mendapatkan mobil atau hadiah yang lain, ini adalah qimar (judi) dan tidak diperbolehkan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).
Demikian, semoga bermanfaat bahasan hukum perlombaan dalam islam yang ringkas ini. Wabillahi at taufiq was sadaad.
Baca Juga: Judi dalam Kuis SMS Berhadiah
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Feminis Belanda Mary Wollstonecraft pernah bilang di bukunya “A Vindication of the Rights of Woman” (1792): “All the sacred rights of humanity are violated by insisting on blind obedience.” Bahwa semua hak suci umat manusia telah dilanggar dengan memaksakan ketaatan yang membabi buta (kefanatikan).
Nyatanya tiga ratus tahun berselang, ucapannya terasa masih sangat relevan. Hari pertama dan kedua di 2024 dibuka dengan kasus kekerasan terhadap perempuan lagi. Aku memang tak pernah menaruh harap jika hal demikian bisa hempas dari muka Bumi. Namun setidaknya, berilah waktu untuk sejenak mengambil napas dari rentetan kasus serupa di tahun sebelumnya.
Seolah tak memberi jeda, semalam aku tak kuasa menahan sesak, mendengar anak korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) meminta pertolongan. Sebab pihak keluarga, bahkan orang-orang yang dianggap mampu dan seharusnya memang memberi perlindungan terhadap korban, malah berbalik menyerang fisik maupun mental korban dan anak-anaknya.
Apa gunanya pertalian darah jika tak mampu merasakan pedih saudara kandung sendiri, yang babak belur karena suami berkali-kali memberi tanda lebam di tubuhnya? Demi menjaga nama baik keluarga, demi menghindari perceraian sebab dibenci oleh Tuhan, lantas biarkan saja korban tersiksa. Toh ia akan meraih predikat istri yang taat (menjaga aib suami) bukan?
Iming-iming pahala yang besar, bahkan surga telah menanti bagi perempuan istri yang taat tanpa tapi (rela dipukuli/bertaruh nyawa demi menjaga nama baik suaminya). Demikian adanya, isi dari tausiyah yang kerap dibeberkan oleh sebagian besar juru dakwah laki-laki maupun perempuan ketika membahas perihal rumah tangga dalam Islam.
Baca juga: Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga